Senin, 12 Januari 2015

Lucy

Malam ini tak seperti biasanya. Dingin yang menusuk menembus pori-pori jaket tebalku ini mengingatkanku pada musim dingin tahun lalu. Waktu itu aku tak sempat ikut andil dalam pesta bola salju di halaman depan rumahku. Sakit cacar yang menumbangkanku dan membuatku terbaring selama dua minggu di kamar. 

Dari balik jendela yang beku kulihat saudari-saudariku, Lilia, Joy dan Ariel sedang asyik bermain dan tak menghiraukan keabsenanku disana. Tapi ya sudahlah, aku juga tidak peduli. Toh aku sudah bisa dibilang dewasa. Bukan waktunya lagi untuk gadis berusia 15 tahun untuk bermain permainan yang tak jelas itu. Ayah dan ibuku juga tak terlalu peduli terhadap anak-anaknya. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka pulang seminggu sekali bahkan di hari libur pun mereka kadang bekerja. Jadi, setiap hari setelah pulang sekolah biasanya aku akan asyik dengan duniaku sendiri. Dan yang kusuka hanya membaca dan berimajinasi, itu saja.
“Huuh, dinginnyaaa. Padahal sudah pakai jaket tebal nih. Ayah dan ibu sudah sampai belum yah? Haduuuh….” Gumamku dengan perasaan yang campur aduk.


Aku berjalan cepat sambil mendekap buku-buku Bibi Adelle yang kupinjam menyusuri trotoar yang kala itu tak terlalu gelap. Syal kuning yang sedari tadi melingkar di leherku tak mampu mengalahkan rasa dingin ini. 

Sudah dua hari ini aku mampir ke rumah Bibi Adelle. Rumahnya hanya 3 blok dari rumahku. Bibi punya perpustakaan di lotengnya yang menyimpan banyak sekali buku cerita yang menarik. Aku menyebutnya ruang harta karun. Aku sangat menyukai Bibi Adelle, tetapi kebalikannya dengan saudari-saudariku. Mereka pikir bibi itu aneh dengan kacamata bulat warna coklat yang hampir menutupi wajahnya. 

“Bibi Adelle itu aneh! Lihat saja penampilannya, masa setiap hari dia merayakan Haloween, hahahaha.” Sindir Joy. 
“Dia juga kuno, ketinggalan jaman tau! Aku membayangkan setiap hari dia memakai baju yang berdebu dari dalam lemari apeknya. Dia keluar rumah dan coba lihat ketiaknya, ada sarang laba-labanya, hahahaha!” Lilia tak mau kalah. Lalu ariel hanya tertawa-tawa saja.

Namun untuk masalah bercerita, Bibi Adelle kuakui mempunyai memori yang kuat untuk orang berumur 80 tahun. Dan setiap aku berkunjung ke rumahnya, bibi selalu menyuguhi dengan biskuit enak buatannya juga teh hangat. 

Siang tadi bibi bercerita padaku tentang sebuah rumah putih bertingkat dua di Jalan Cultvard yang konon didiami oleh hantu bernama Lucy. Bibi berkata bahwa hantu itu akan mengajak siapa saja yang lewat di jalan itu untuk bermain dengannya. Tapi yang pernah bibi dengar dari cerita temannya bahwa hantu Lucy itu pernah mengajak seorang pria untuk menunggu ayahnya Lucy pulang, persis di bawah lampu jalanan depan rumah putih itu. Begitu pria itu terbangun dan sadar keesokan paginya, ia tidur sambil berdiri dan bersandar di tiang lampu jalanan tersebut.  Ada juga cerita dari seorang wanita yang pernah bertemu dengan Lucy. Ia mengaku diajak Lucy untuk menunggu seseorang. Lalu Lucy memintanya untuk mendekap tubuhnya yang kedinginan. Wanita itu pun berjongkok dan memeluk tubuh Lucy. Namun wanita itu merasa seperti tertusuk oleh pecahan kaca atau sesuatu yang tajam di bagian dada dan perutnya. Matanya terbelalak dan pandangannya menjadi kabur lalu semuanya hitam. Esok paginya ia terbangun dan mendapati tubuhnya yang tidak terluka sama sekali. Namun dalam pikirannya masih hangat kejadian yang menimpanya tadi malam.

“Masa sih, Bi? Aku dan ayah pernah lewat rumah itu malam-malam, tak ada apa-apa kok.” Kataku meyakinkan.
“itu kan berdua dengan ayahmu. Kalau kamu sendirian bagaimana hayooo.” Canda bibi menakutiku.
“iiih, bibi!! Kataku setengah tersenyum malu.
“hahahahaha.” Tawa bibi memecah kala siang yang dingin.

Mendengar cerita tadi langkahku menjadi ciut ketika aku tersadar jika satu blok lagi adalah Jalan Rosemary III dan suasana jalannya kala itu suram dan cukup gelap. Langit semakin redup dan aku menyesal kenapa aku harus tertidur sampai sore di rumah bibi. Jika aku memutar jalan dan melewati blok lain, itu akan memakan waktu yang lama untuk sampai ke rumah dan ditambah lagi aku selalu tidak hafal jalan di perumahan yang luas ini. Kuyakin Lilia, Joy dan Ariel akan menghabiskan kue pudding salju buatan ibu jika aku belum sampai rumah saat makan malam.

Akhirnya kuputuskan untuk menyusuri jalan itu mau tidak mau. Dengan langkah yang kupercepat dan setengah menunduk, tiba-tiba kakiku terantuk sesuatu dan buku-buku yang kupegang jatuh berserakan. Dengan gemetaran aku berusaha mengambil buku-buku itu dari tanah sambil melihat kondisi sekitar kalau ada sesuatu yang mencurigakan aku akan segera lari. Seketika itu juga nafasku tersekat tatkala ada bayangan yang berusaha mendekatiku. 

“Ini bukumu…” 

Suara halus itu memecahkan keheningan yang sedari tadi membuat lututku goyah untuk berdiri kembali. Aku mendongak dan mendapati sesosok anak laki-laki dengan baju yang nampak kebesaran dengan kupluk merahnya ada di depanku. Dengan segera aku bangkit dan mengambil buku yang ada di tangannya. 

“Te.. Te.. Terima kasih” Ucapku salah tingkah. 

Anak laki-laki itu hanya tersenyum simpul dan membuatku semakin salah tingkah. Kuakui dia manis seperti anak perempuan. Rambut ikal warna oranye menyembul dari balik kupluknya. Bintik matahari di wajahnya juga mata birunya yang membuatku semakin penasaran untuk melihatnya semakin dalam.

”Kutemani kau berjalan sampai lampu di ujung sana ya. Aku sedang dalam perjalanan pulang dan sebenarnya aku takut melewati jalan gelap ini.” Pintanya padaku. Lalu kubalas dengan anggukan kecil.

Sepanjang perjalanan kami berdua hanya terdiam. Pandanganku hanya teralihkan pada suasana jalan dan begitu kulihat tanda jalannya tertulis Jalan Rosemary III. Begitu leganya diriku saat sadar bahwa aku tinggal sedikit lagi untuk sampai ke rumah. Sampai akhirnya kami berhenti di lampu jalanan yang dimaksud anak laki-laki tadi. Saat aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi, anak laki-laki itu berkata, 

”Terima kasih, Liana. Kau punya keluarga yang hebat. Biarpun mereka seperti itu, jangan pernah kau sia-siakan. Selamat tinggal.” 

Lalu anak itu langsung membalikkan badannya dan pergi. Aku hanya terpaku beberapa detik dan berpikir ada apa dengan anak itu. Beberapa langkah berjalan aku baru tersadar jika anak itu tahu namaku. 

“Namaku… dia tahu namaku?!” gumamku pelan.

Nafasku kembali tersekat dan bulu kudukku berdiri. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kupaksakan kakiku berlari sejadi-jadinya. Aku tak tahu dan tak ingin tahu apa yang terjadi malam ini. Begitu sampai rumah, saudaraku, Joy, terheran-heran melihatku tersengal-sengal seperti habis dikejar anjing tetangga sebelah. Aku hanya menatapnya dan langsung menuju kamarku di lantai atas. Aku berharap hari ini hanya mimpi.

Esok paginya, Bibi Adelle datang ke rumah mengantarkan buku PR-ku yang tertinggal di lotengnya kemarin. Bibi langsung masuk ke kamarku dan tersenyum melihatku masih setengah sadar. 

“Kau kenapa, Liana? Kata Joy kemarin kau terlihat seperti habis dikejar sesuatu saat sampai rumah?” Tanya bibi seraya duduk disampingku. 

Aku yang masih berselimut dan mengendap nyaman di kasurku tidak menghiraukan pertanyaan bibi dan malah balik bertanya, 

“Bibi, Lucy itu anak laki-laki atau perempuan?” Tanyaku.
Bibi berkata “Oh, cerita hantu Lucy itu ya. Aku lupa menceritakan secara detail kepadamu, hahaha. Lucy itu seumuran denganmu. Sebelum meninggal ia sedang memakai baju kakak laki-lakinya.”

Bibi meneruskan ceritanya, katanya Lucy meninggal karena tertimpa lemari kaca di kamarnya. Menurut perkiraan polisi yang memeriksa TKP tersebut, ia meninggal saat dirinya tengah meraih sesuatu yang berada di atas lemari tersebut. Dikatakan lemari itu memiliki tinggi lebih dari ukuran tubuh Lucy yang kecil dan ia menggapainya dengan cara dipanjat. Saat ia hampir meraih benda yang dimaksud, lemari itu perlahan goyah dan seketika itu juga menimpa Lucy. Kabarnya Lucy ditemukan masih dalam keadaan bernapas dan tubuhnya penuh dengan pecahan kaca oleh ayahnya. Namun akhirnya Lucy menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit. Sewaktu Lucy hidup ia dijauhi oleh saudara-saudaranya. Ayahnya pun juga terlihat tak peduli dengannya setelah ibunya meninggal. Tapi Lucy kala itu tidak pernah menunjukkan ekspresi marah atau sedih. Setiap malam ia selalu keluar rumah dan menunggu ayahnya pulang di bawah tiang lampu jalanan. Namun setelah kejadian tragis yang menimpa Lucy, ayah dan saudara-saudaranya pindah ke tempat lain dan rumah itu dibiarkan kosong. Dan Jalan Cultvard pun resmi diganti menjadi Jalan Rosemary III sekitar 25 tahun yang lalu.

Mendengar cerita dari bibi, aku terperanjat dan sadar bahwa selama ini aku melewati Jalan Cultvard dan tadi malam yang kutemui berarti….. LUCY!!! Aku kaget bukan kepalang dengan mulut setengah terbuka dan mata terbelalak. Bibi hanya heran melihatku begitu. Akhirnya aku bangkit perlahan dari kasur dan menuju ruang makan. Bibi spontan bertanya kepadaku apa yang terjadi, tetapi aku hanya terdiam sambil terus melangkah.

Saat di ruang makan, saudari-saudariku sudah duduk rapi, begitu juga dengan ayahku. Ibuku nampak sibuk menyiapkan telur dadar kesukaan ayah. Bibi yang sedari tadi mengikutiku dari belakang ditawari ibuku sarapan pagi bersama. Setelah bibi duduk di kursinya, aku masih tetap berdiri di belakang kursiku. Tiba-tiba sebelum otakku menyampaikan pesan, mulutku sudah lebih dulu berucap,

 “Bagaimana kalau liburan besok kita pergi bersama. Bibi Adelle ikut juga. Kita belum pernah liburan bersama selama ini. Dulu jika ayah yang libur, ibu tetap bekerja begitu juga sebaliknya. Mengapa kita tidak pernah lakukan hal itu? Mengapa kita tidak lupakan dahulu kesibukan masing-masing dan pergi bersama hanya untuk sekedar bersenang-senang? Bagaimana?” Tanyaku secara memberondong.

 Lalu ayah yang sedari tadi membaca koran tiba-tiba terhenti dan menatapku dalam. Ibu dan yang lainnya pun begitu. 

“Ah, liburan itu mahal dan membuang uang saja. Ibu dan ayah kan mencari uang untuk kalian juga, Liana.” Ucap ibu. 
“Kalau semuanya dengan uang, maka melahirkanku juga butuh uang kan? Dan biayanya pasti mahal. Lalu mengapa ibu melahirkanku kalau tidak ingin membuang uang?” Tanyaku sedikit ketus. 
“Liana?!” kata ibu dengan nada kesal dan mata yang melototiku. 

Sontak yang lain terheran-heran melihat tingkahku yang berbeda pagi ini.

“Ibu, maafkan aku. Tetapi bersenang-senang kan tak selamanya dengan uang. Kita bisa jalan-jalan ke sungai La Varia yang punya pemandangan yang cukup indah dan itu pun tidak jauh dari sini. Kita bisa piknik bersama disana. Pikirkan, bu.. Kapan terakhir kali kita pergi bersama? Aku hanya tidak ingin kalian sibuk sendiri sementara waktu kalian di rumah sangat jarang. Kami juga butuh kalian.” Ungkapku.

Ibu tertegun dan terdiam mendengar pernyataan dari bibir putri keduanya itu. Lalu akhirnya ayah angkat bicara juga, 

“Baiklah, mengapa tidak demikian? Memang benar ayah terlalu sibuk dengan urusan ayah sampai-sampai ayah saja tidak tahu umurmu sekarang, Liana. Ayah sibuk dan akhirnya tidak sempat membahagiakan anak ayah sendiri.” Ucap ayah sambil tersenyum menatapku dan ibuku. 
Ibu balas menatap ayah dan berkata, “Siapa yang mau ikut jalan-jalan?!”

 Saudara-saudaraku sontak mengacungkan tangan mereka sambil berteriak 

“Akuuu!” 

Lalu ayah bangkit dari kursinya dan memelukku. Ibu dengan berusaha menyembunyikan air mata yang tiba-tiba keluar juga ikut memelukku. Mereka berkata 

“Maafkan kami, sayang”. 

Aku hanya bisa terharu dan senang karena mereka akhirnya bisa mengerti. Sejak hari itu keluargaku selalu menyempatkan diri biarpun dua minggu sekali untuk berlibur bersama. Dan sejak saat itu pula aku tidak pernah melihat hantu Lucy lagi.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar